Artikel ini saya cuma copy dari sini
Saya tidak bisa menuliskan lebih banyak lagi karena memang lebih baik korban sendiri yang bercerita.
#TrenSosial: Bertepatan dengan hari antikekerasan terhadap perempuan, Rabu (25/11), BBC Indonesia melalui Facebook mengadakan tanya jawab bersama Shera Rindra, seorang penyintas yang pernah mengalami kekerasan seksual di masa muda.
Bagaimana mengakhiri kekerasan terhadap perempuan? Apa tantangannya? Dan, ketika perempuan dilecehkan, mengapa rok mininya yang disalahkan?
Tanya jawab yang berlangsung hari itu tampaknya tidak hanya menjadi media diskusi tetapi juga menunjukan tantangan besar yang dialami para korban, yaitu kuatnya budaya menyalahkan korban.
Shera mendapat kekerasan verbal dari pengguna media sosial. Beberapa di antara mereka menggunakan kata-kata kasar yang memojokan perempuan - mengatakan bahwa perempuanlah yang seharusnya menjaga pakaian, dan wajar saja perkosaan terjadi karena perempuan menggoda birahi.
Sebagian orang secara frontal menyerang Shera. Alfredo Edo dari akun Facebooknya mengatakan Shera pantas mendapat apa yang dialami dan tidak seharusnya mengeluh, tanpa mengetahui latar belakang kasusnya.
"Kalau enggak mau diperkosa bla bla bla, ya jangan mancing orang buat memperkosa," kata Andhika Putra Dwijayanto.
Melihat komentar-komentar itu, Shera yang pernah dilecehkan secara seksual waktu kecil dan diperkosa pada usia 18 tahun, mengatakan dia hanya bisa "tertawa kepada orang-orang yang suka menghakimi."
"Saya tidak terkejut, sudah menyangka dan sudah menyiapkan mental," katanya. "Untuk para korban kekerasan, siapapun dirimu, kamu tidak salah, kamu tidak sendirian, dan kamu memiliki kekuatan. Banyak orang yang peduli dan sayang sama kamu. Saya yakin kamu bisa melewati ini semua."
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, kekerasan seksual masih menjadi momok paling mengerikan pada daftar kasus kekerasan terhadap perempuan.
Pada 2014 lalu, dari 3.860 kasus kekerasan pada perempuan di ranah komunitas, sebanyak 2.183 kasus atau 56%-nya adalah kasus kekerasan seksual berupa perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual dan paksaan berhubungan badan.
Berikut rangkuman tanya-jawab bersama Shera Rindra:
Sisca Dellia: Bagaimana keadaan Shera saat ini? Apa Shera bisa menerima masa lalunya yang kelam? Dan adakah tips atau pesan dari Sheera untuk semua wanita agar bisa mengantisipasi kejadian yang ia alami?
Shera Rindra: Keadaan saya sekarang baik-baik saja. Iya, saya bisa menerima perkosaan yang terjadi pada saya di masa lalu. Menerimanya adalah bagian dari proses pemulihan dan penguatan diri karena apapun bentuk kekerasan yang dialami, tidak bisa dihapus dari memori. Tipsnya adalah kita semua harus mempelajari apa saja bentuk kekerasan seksual sehingga kita tahu apa yang dialami oleh diri ataupun orang terdekat kita, dan kemudian tahu apa yang harus dilakukan jika mengalaminya. Lalu, peduli juga sadar bahwa isu ini bukannya hanya problem perempuan tetapi isu kekerasan seksual adalah masalah kita bersama (termasuk laki-laki). Semakin banyak orang yang peduli dan sadar untuk tidak melakukan kekerasan, maka angka kekerasan terhadap perempuan dapat berkurang.
Diana Anne: Apa yang harus dilakukan jika ada yang bernasib sama dengan Shera? Apakah ada organisasi yang dapat menampung kasus-kasus seperti Shera ini?
Shera Rindra: Segera cari bantuan dari orang yang dapat dipercaya, lalu cari bantuan ke pendamping sosial (individu/lembaga), dan pendamping hukum, serta kumpulkan bukti-bukti, dan laporkan pada polisi. Ya, ada beberapa organisasi non-profit yang memberikan pelayanan pada korban kekerasan. Misalnya di Jakarta ada Yayasan Pulih untuk konsultasi dan pemulihan diri, lalu ada LBH Apik dan LBH Jakarta yang bisa memberikan pendampingan hukum. Lalu ada juga Komnas Perempuan dan P2TP2A.
Ferdin Masel: Apakah Anda sudah bisa mengenali ciri-ciri calon-calon pemerkosa atau tempat-tempat yang harus dijauhi wanita supaya tidak diperkosa?
Shera Rindra: Sayangnya kita tidak bisa mengenali ciri-ciri pemerkosa, karena mereka berpenampilan seperti orang pada umumnya. Dan mayoritas pelaku adalah orang yang berada dalam lingkaran terdekat korban. Untuk tempat juga tidak ada ciri khusus, mayoritas perkosaan terjadi di dalam rumah sendiri dan tempat-tempat yang dianggap 'aman'. Kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Bary: Kenapa menggunakan pakaian vulgar dan menggoda hawa nafsu kaum lelaki digunakan di tempat umum? Jaga aqidah tentang berpakaian dapat meminimalisir kasus pelecehan apakah Anda pernah mendengar berita wanita bercadar diperkosa? Tentunya tidak kan, kalaupun ada cuman beberapa kasus.
Shera Rindra: Mungkin baiknya lebih banyak cari tahu terlebih dahulu sebelum berasumsi dan mengambil kesimpulan. Banyak sekali perempuan yang berhijab hingga bercadar mengalami kekerasan seksual. Berapapun jumlah kasusnya tetap saja penting dan banyak. Bukan angka yang jadi patokan.
Banyak sekali kasus yang ditutup-tutupi, baik dari korbannya sendiri, keluarganya, hingga negara. Bukan pakaian yang menjadi masalah. Tetapi cara pandang laki-laki (mayoritas) yang melihat perempuan sebagai objek seksual. Tidak semua perempuan berani bersuara dan melaporkan kasusnya, termasuk perempuan yang berhijab dan bercadar, karena orang-orang seperti Andalah yang lebih senang menghakimi korban daripada pelaku, sehingga membuat perempuan lebih memilih bungkam.
Padahal pelaku memiliki pilihan untuk tidak melakukan kekerasan kepada siapapun. Dan banyak loh, laki-laki yang anti kekerasan terhadap perempuan karena itu mereka memilih untuk tidak melakukan kekerasan serta sadar bahwa kekerasan dalam bentuk apapun adalah tindak kejahatan. Jadi apapun alasannya, tidaklah perlu membenarkan kejahatan yang terjadi pada siapapun. Karena siapa saja bisa menjadi korban, siapa saja bisa menjadi pelaku.
Tentunya pernah dengar dong, ya... Kasus-kasus perkosaan yang terjadi pada bayi dan nenek-nenek? Pernah juga dong ya dengar kasus perkosaan insest yang dilakukan oleh ayah kandung, kakek, paman, saudara kandung dll. Apa ini karena pakaian? Ayo, sama-sama mengubah pola pikir dan berpihak pada korban bukan pada pelaku. Jika pola pikir anda tetap seperti itu, tidaklah jauh berbeda dengan cara berpikir pelaku yang membenarkan tindak kejahatannya.
Jetak Angelus: Bagiku itu terjadi bukan karena masalah rok mini, tetapi 'isinya' dan isi dalam hati juga pikiran pelaku. Apa langkah Anda untuk memiminimalkan aksi calon pelaku untuk tidak tertarik melakukannya?
Shera Rindra: Maaf, maksudnya bagaimana dengan 'isinya'? Bahwa memiliki vagina dan payudara itu salah? Disinilah letak masalahnya, ketika tubuh perempuan dijadikan objek seksual, maka tubuhnya hanya dipandang untuk kebutuhan seksual saja dan seakan menjadi hak bagi pelaku untuk melakukan kekerasan pada tubuh perempuan. Soal meminimalisir tindakan pelaku, hanya bisa dilakukan oleh pelaku itu sendiri. Pelaku memiliki pilihan untuk tidak melakukan kekerasan dan menghargai calon korbannya sebagai manusia yang setara dengan dirinya, serta tidak menjadikan calon korban sebagai objek seksual. Korban bisa saja mengatakan TIDAK dan menyiapkan pembelaan diri, entah membekali diri dengan senjata atau ilmu bela diri, tapi bukan ini solusinya.
Lim Yong Kien: Kalau enggak ada hukuman yang bisa membuat pemerkosa jadi takut, perkosaan enggak akan pernah habis. Pertanyaannya kapan ada hukuman yang sangat berat untuk kasus perkosaan?
Shera Rindra: Persoalan hukuman yang berat bagi para pelaku memang masih menjadi problem hingga sekarang. Hal ini terjadi karena instrumen-instrumen hukum dan aparat hukum tidak memakai perspektif korban dan Hak Asasi Manusia. Maka dari itu, perlu ada instrumen yang berpihak pada keadilan korban dan pendidikan bagi aparat hukum serta pemerintahan. Sayangnya, RUU Kekerasan Seksual masih tersendat di DPR RI. Ini butuh dukungan dan dorongan banyak orang agar RUU ini bisa direalisasikan.
Helfinsi Feens: Saya mengerti perasaanmu Shera Rindra. Saya ingat ketika sekolah dulu tanpa punya pilihan lain selain transportasi umum dan pakaian seragam saya longgar dan rok di bawah lutut dan beberapa kali mendapat pelecehan di transportasi umum dan sampai sekarang masih ada kemarahan di dalam dada saya karena saya jadi saya bisa membayangkan bagaimana perasaan yang mengalami pelecehan lebih parah dalam bentuk pemerkosaan.
Shera Rindra: Terima kasih banyak atas dukungannya dan empatinya, serta kesadarannya bahwa masalahnya bukanlah pada pakaian. Salut sama kamu! Terima kasih juga sudah berbagi pengalamanmu. Wajar kamu merasa marah, saya paham perasaanmu. Karena sekecil apapun tindakan kekerasan seksual yang kita terima itu sudah melanggar otoritas atas tubuh kita. Kalau boleh saran, lakukan konsultasi untuk memulihkan kemarahan dan traumamu, agar kedepannya kamu bisa lebih tenang dalam menjalani aktivitas dan hidupmu sehari-hari.
Romy Meow Meow: Bagaimana Anda bisa melewati masa-masa sulit itu? Yang pasti sebagai korban, lebih banyak berujung pada kematian, mati dibunuh si pemerkosa atau sebaliknya mati bunuh diri karena tekanan dan rasa malu mendalam ditambah lingkungan yang lebih menyalahkan perempuan sebagai korban.
Shera Rindra: Saya bisa melewati masa-masa sulit itu dengan melalui proses yang sangat panjang seperti proses pemulihan, penerimaan, dan penguatan diri. Dan saya juga mendapat banyak dukungan dari keluarga serta para sahabat. Yang tidak mendukung dan menghakimi, saya coba ambil sisi positifnya saja dan tidak menggubrisnya. Dalam proses pemulihan itu tentunya penuh dengan tekanan, tidak jarang saya ada keinginan untuk melakukan bunuh diri tapi saya coba untuk selalu ingat, bahwa jika saya bunuh diri maka semua yang sudah saya lalui dan capai dalam hidup akan sia-sia dan merugikan banyak pihak. Selain itu memberikan penguatan pada diri bahwa saya bisa merebut kembali otoritas tubuh serta hidup saya agar tidak berada dalam bayangan trauma, pelaku dan tindakan yang dilakukan olehnya.
Andi Gunawan: Ada sarankah jika kita mengetahui kerabat dekat ternyata seorang pelaku kekerasan? Dan apakah kita berhak melaporkan kasusnya jika korban menolaknya?
Shera Rindra: Yang perlu dilakukan jika ada kerabat dekat yang ternyata seorang pelaku kekerasan adalah berpihak pada kebenaran, coba pelan-pelan ajak bicara apa masalahnya dia dan beritahu bahwa dia membutuhkan bantuan serta harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Arahkan ia untuk melakukan konsultasi/konseling pelaku kekerasan. Tapi hal tersebut harus ada kesadaran dan komitmen dari si pelaku. Tidak bisa dipaksakan. Karena perubahan perilaku tidak bisa dicapai jika tidak ada kedua hal tersebut.
Terkait melaporkan kasus tetapi korban tidak menghendakinya, kita harus kembali pada prinsip apa yang terbaik bagi korban. Apa pilihan yang dia buat. Apakah melaporkan kasus tersebut akan baik bagi korban? Bagaimana jika secara mental si korban tidak siap? Ini bisa menimbulkan bentuk trauma tambahan bagi si korban. Yang bisa (dan harus) dilakukan adalah memberikan penguatan dan dukungan pada korban untuk mengambil keputusan, apakah nanti dia melaporkan atau tidak keputusan itu ada pada korban.
Agripta Tambunan: Bagaimana cara Anda menghadapi penghakiman orang-orang di sekitar Anda? Saya saja ngeri melihat komentar-komentar dalam postingan ini.
Shera Rindra: Saya coba untuk tetap bersabar dan melihat dari 'kacamata' mereka. Serta melihat bahwa ini adalah realita yang masih ada dalam masyarakat. Masih banyak orang yang lebih senang menghakimi korban daripada pelaku. Lupa pada masalah sebenarnya yang harus diselesaikan. Yang berarti PR kita masing panjang dalam melakukan penyadaran dan pendidikan tentang anti-kekerasan terhadap perempuan. Dan semoga melalui sesi tanya jawab ini, semakin banyak yang terbuka matanya dan orang-orang seperti kamu juga jumlahnya semakin besar yang berani bersuara mendukung penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Bagaimana pendapat Anda sendiri tentang kejahatan seksual ini?
No comments:
Post a Comment