Gara-gara gerakan segelintir orang yang memaksakan kehendak mereka
kepada orang lain, terjadilah gelombang pengungsian besar-besaran.
kepada orang lain, terjadilah gelombang pengungsian besar-besaran.
Para pengungsi bergerak keluar dari negara mereka menghindari penindasan segelintir orang tersebut. Mereka menuju ke Eropa dengan harapan dapat melangsungkan kehidupan mereka dengan tenang.
Perjalanan mereka tidak mudah. Banyak negara Eropa menutup perbatasan mereka. Melarang para pengungsi masuk bahkan memperlakukan mereka seperti bukan manusia. Memasang pagar berduri. Memaksa mereka pergi melanjutkan perjalanan ke negara lain dengan pengawalan militer.
Banyak dari para pengungsi tersebut lari dari negara mereka dengan tidak membawa apapun selain pakaian yang menempel di badan mereka. Saya membayangkan diri saya pada posisi mereka, dengan istri dan anak saya yang baru berumur setahun. Saya langsung merinding dan menangis. Tidak terbayang sedihnya melihat muka ketakutan dari istri dan anak. Terlebih lagi melihat perlakuan negara-negara yang diharapkan dapat membantu. Saya akan merasa tidak berdaya menolong keluarga saya.
Takut kepada...
Saya mengerti bahwa negara-negara tersebut takut jika para pengungsi disusupi orang tidak bertanggung jawab. Bahkan banyak yang yakin bahwa pengungsian ini memang disengaja digunakan untuk menyusup masuk ke negara-negara Eropa agar segelintir orang tersebut dapat melakukan aksi teror mereka.
Apalagi beberapa hari yang lalu, Paris diserang oleh para pengecut. Hal ini semakin meningkatkan ketakutan negara-negara Eropa. Ada yang langsung menutup perbatasan, ada yang memperlakukan pemeriksaan yang lebih ketat, bahkan gelombang ketakutan ini melanda seluruh dunia.
Tetapi saya sangat bergembira dengan reaksi penduduk Paris yang tidak ketakutan melainkan bergandengan tangan saling membela. Kelompok agama yang diklaim sebagai biang teror justru dilindungi oleh penduduk Paris.
Saya bergumul....
Saya tidak bisa tidak merasakan ketakutan yang sama oleh negara-negara di Eropa. Apakah Indonesia perlu menerima para pengungsi yang "sangat mungkin" disusupi para pengecut?
Kemudian saya teringat akan bagian Alkitab : Matius 25
34 Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan.
35 Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan;
36 ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.
37 Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum?
38 Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian?
39 Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau?
40 Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.
Ayat-ayat tersebut membuat saya berpikir ulang akan sikap hati saya sendiri.
Menolak pengungsi atau menerima mereka?
Apa pilihan Anda?
Mungkin ini sekadar alasan belaka: reaksi pertama saya ialah untuk menolak pengungsi sebab saya lebih mengkhawatirkan keluarga dan teman-teman saya daripada diri saya sendiri. Bila saya hidup sendiri di rumah saya dan pengungsi yang saya terima ternyata adalah berniat jahat, potensi korban hanyalah saya sendiri. Namun bila saya telah berkeluarga, saya menempatkan keluarga dalam posisi yang berbahaya juga.
ReplyDeleteAyat-ayat yang dituliskan di atas, membuat saya sadar bahwa pemikiran awal saya bertentangan dengan perintah Tuhan. Saya sendiri pun pernah diterima dengan baik oleh orang lain ketika dalam suatu kondisi yang membutuhkan.
Saya jadi mempertanyakan tingkat kepercayaan diri dan, lebih sedihnya, kepercayaan akan janji perlindungan dari Tuhan untuk saya dan orang-orang yang saya kasihi. Suatu hari bila saya dihadapi dengan situasi seperti ini, saya hanya berharap saya akan telah mempunyai kebijaksanaan, keberanian dan iman yang cukup untuk melakukan hal yang benar.
Saya tidak akan berbohong jika saya sendiri mengkhawatirkan keluarga dan teman-teman saya dari para pengecut itu.
ReplyDeleteSaya berterima kasih jika Anda berani berkata jujur. Sikap hati saya pun masih terus penuh dengan pergumulan.
Doa Anda akan saya pakai: "saya hanya berharap saya akan telah mempunyai kebijaksanaan, keberanian dan iman yang cukup untuk melakukan hal yang benar."
Topik yang dibuat beberapa hari lalu di blog ini menjadi semakin relevan ketika membaca berita di media masa kemarin mengenai komentar Donald Trump dalam hal penutupan perbatasan negaranya: http://internasional.kompas.com/read/2015/12/08/10100041/Donald.Trump.Larang.Semua.Orang.Muslim.Masuk.AS
ReplyDeleteSangat disayangkan bahwa seorang kandidat pemimpin negara mengungkapkan sentimen yang tidak mendorong toleransi. Saya tidak berhak menghakimi karena sejujurnya reaksi pertama saya sendiri pun menutup perbatasan negara untuk pengungsi dari golongan apapun karena kuatir akan keselamatan bangsa dan keluarga sendiri. Saya tidak lebih baik daripada Donald Trump.
Namun beruntunglah saya karena saya tidak mencalonkan diri sebagai pemimpin negara sehingga saya tidak perlu secara aktif mengemban tugas untuk memutuskan pertimbangan-pertimbangan besar seperti ini: http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/05/150518_tni_larang_nelayan_rohingya
Memang tugas sebagai pemimpin tidaklah mudah. Apa pun yang kita perbuat selalu menjadi sorotan. Entah itu baik atau buruk, selalu saja akan ada orang yang tidak sepaham dengan kita.
ReplyDeleteMarilah kita mendoakan yang terbaik kepada pemimpin kita. Juga kepada kita sendiri. Agar semua diberikan hikmat yang dari Tuhan dalam memutuskan setiap perkara di dalam kehidupan kita.